Kerja hingga Malam, Pernah Hanya Untung Rp 1.500

Pahit manis menjadi pengasong sudah dirasakan semua oleh Dasiman. Kakek berusia 80 tahun warga Suratan, Kelurahan Kranggan, Kecamatan Prajurit Kulon, Kota Mojokerto ini sudah puluhan tahun bergelut dengan aktivitas mengasong.

STASIUN Mojokerto sangat ramai. Para penumpang dengan berbagai ekspresi berusaha sabar menunggu kereta api (KA). Maklum, hari keempat Lebaran, kedatangan dua KA mengalami keterlambatan. Dari jadwal yang ditentukan, KA baru tiba satu jam kemudian. ’’Iya, saya sudah menunggu hampir satu jam,’’ ungkap seorang calon penumpang.
Ditengah para penumpang sedang bersabar, tak jauh dari mereka terlihat seorang kakek duduk termangu. Kakek dua cucu itu sedang menunggu barang dagangannya. ’’Rp 2.500,’’ ungkap Dasiman menjawab pertanyaan pembeli seputar harga nasi bungkus yang menjadi dagangannya.
Tak berpindah posisi, kakek Dasiman tetap duduk sembari dua tangannya menghitung lembaran uang. Meski usianya sudah kepala delapan, namun penglihatan dan pendengarannya tak terganggu.
Iya, Dasiman adalah satu dari sekian banyak pengasong yang mengais rejeki di atas KA. Dengan kondisi tubuh yang sudah nampak tua, dia harus berjalan mondar mandir di stasiun dan di KA. Mungkin, karena usianya tak muda lagi, dia mengaku kerap capek. Kalau sudah begitu, jalan satu-satunya beristirahat alias tidak berdagang. ’’Saya sudah mengasong di kereta sejak zaman Jepang,’’ katanya.
Selama itu, dia mangkal di Stasiun Mojokerto. Saking lamanya, Dasiman dikenal seluruh pengasong yang ada. Dia bahkan sudah lupa, sudah menjumpai berapa kepala stasiun. Hanya, saat masih zaman Jepang, dia tidak berjualan nasi bungkus. Melainkan berjualan kopi. ’’Saat itu keretanya masih dengan kayu bakar. Tapi, tidak boleh naik kereta. Ya hanya menawarkan kopi dari luar,’’ ujarnya.
Sedangkan, nasi bungkus yang dijual dibeli dari seseorang. Sudah menjadi langganan, setiap pagi dia mengambil nasi. Dengan berjalan kaki, kakek yang hidup sendiri di rumahnya itu menuju Stasiun Mojokerto. ’’Kalau habis ya pulang. Pernah sampai pukul 20.00,’’ katanya.
Ternyata, Dasiman tidak hanya menetap di stasiun. Namun, laiknya pengasong lain, dia juga naik kereta dan ikut ke Jombang. Kalau sedang ramai, dia bisa membawa pulang uang dari keuntungannya berjualan sebesar Rp 30 ribu. ’’Pernah saya hanya mendapat untung Rp 1.500 sampai Rp 2.000,’’ ungkapnya yang kala itu membawa 30 bungkus nasi pecel.
Dasiman sendiri tak tahu sampai kapan bakal menjalani aktivitasnya menjadi pengasong. Yang pasti, selama tenaganya masih kuat, dia akan terus mendatangi stasiun dan naik kereta menjual nasi bungkung tersebut. Diusianya yang sudah tua, Dasiman dituntut mampu memenuhi kebutuhannya sehari-hari.
Bahkan, saat Lebaran tiba, dia tetap berada di stasiun. ’’Yang dibuat berlebaran apa?’’ ungkapnya. Hari pertama dan hari-hari Lebaran berikutnya dia tetap naik kereta menawarkan barang dagangannya. Justru Lebaran menjadi kesempatan nasi bungkusnya laku banyak. Sebab, jumlah penumpang KA mengalami kenaikan. Ada yang mudik, ada juga yang balik.
Mendadak terdengar informasi dari pengeras suara di stasiun, kereta akan datang. Dasiman pun bangkit dari duduknya. Nasi bungkus yang berada di depannya disambar. Dasiman melangkahkan kaki berancang-ancang menawarkan barang dagangannya itu. Kereta pun tiba. Dengan cepat Dasiman menjajakan nasi bungkusnya. Nasi bungkus….nasi….